Rabu, 15 Januari 2014

Arti Kebenaran

Karena ingin mengetahui apa arti & makna KEBENARAN, maka aku menanyakannya kepada pihak-pihak yang aku anggap berkompeten.

Yang pertama aku datangi adalah manusia yang aku anggap paling bijak: FILSUF
"Kebenaran?, itu tergantung dari apa yang Anda maksudkan dengan 'kebenaran'" jawabnya filosofis.
Walah, rumit ... masa untuk tahu soal kebenaran saja aku mesti belajar filsafat dulu?

Selanjutnya aku mendatangi orang yang aku pikir paling pintar ngomong: POLITISI
"Kebenaran?, itu tergantung dari kepentingannya dong" jawabnya mantap.
Wuahh, perutku langsung mual .. muntah-muntah, masih untung tidak ditambah terberak-berak.

Terpikir olehku, bahwa aku punya teman BUDDHIS yang suka meditasi. Maka aku mendatanginya.
"Kebenaran itu sebenarnya adalah kekosongan, karena tidak ada yang nyata di alam fenomenal ini, semuanya adalah kekosongan!" ujarnya khidmat.
Karena bosan mendengar ujarannya, iseng-iseng aku getok kepalanya "Bletak!" nyaring juga bunyinya - tapi tidak seperti bunyi benda yang dalamnya kosong, disusul teriakannya mengaduh "Aduh!, bangsat kenapa memukul kepalaku?"
Aku cepat-cepat pergi menghindari amukannya. Kalau semuanya kosong, dari mana asalnya kemarahan itu?, pikirku.

Selanjutnya aku mendatangi ANTROPOLOG, yang mungkin dengan keahliannya bisa menolongku.
"Kebenaran menurut opini orang Bandung sepertimu tentu berbeda dengan opini kebudayaan lain. Misalnya menurut suku 'Mbembe Ng'mbik, kebenaran adalah segala sesuatu yang dikatakan oleh kepala suku yang sudah diinisiasi menggunakan jimat skrotum kambing yang dikeringkan.
Wah tambah ngawur saja, masa kebenaran ada hubungannya dengan peler kambing!!!

Supaya tidak tambah ngawur sebaiknya aku menanyakannya kepada orang yang lebih serius, percaya diri - seperti yang ditunjukkan oleh sorot matanya - bahwa dia paling benar. Maka aku mendatangi seorang FUNDAMENTALIS AGAMA.
"Aku tahu kebenaran dan aku tahu bahwa aku adalah benar karena aku sudah membacanya di buku suci! Dan aku tahu - bahkan sampai kapanpun - tak akan ada yang sanggup menggoyahkan keyakinanku. Kebenaran dari buku suci adalah axioma - harga mati!, bukan suatu hasil akhir dari proses penalaran! Buku suci selalu benar! Dan jika ada bukti-bukti yang berkontradiksi, maka bukti-bukti itu yang mesti dibuang bukan buku sucinya! Kebenaran ada disana!!!!"
Aku pergi dengan perasaan ngeri ...

Untuk mencari jawaban yang lebih jujur dan membumi, sebaiknya aku tanya kepada PEMULUNG
"Kebenaran adalah:  jika perut lapar tidak bisa kenyang dengan melihat gambar makanan, jika kedinginan & kehujanan tidak bisa hangat & nyaman dengan melihat bangunan mewah milik orang kaya, jika miskin tidak bisa kaya hanya dengan melihat parameter-parameter ekonomi makro" ujarnya dongkol membenci pemerintah.
Wah benar juga, jangan-jangan pemulung ini juga sarjana? Itu memang fakta kehidupan di negeri ini tapi bukan kebenaran seperti yang aku maksudkan.

Demi sebuah pencarian tidak ada salahnya menanyakannya kepada mahluk bukan manusia.  Mengumpulkan segala keberanian yang ada aku bertanya kepada SETAN si Lucifer itu!
"Sebagai mantan malaikat level atas, aku tentu tahu apa kebenaran itu! Aku mengambilnya sekeping-sekeping dan menambahkannya dengan ajaranku sendiri. Aku memberitakannya kepada manusia yang suka mengabsolutkan sesuatu - malas menggunakan akal sehat dan hati nuraninya. Aku membiarkannya mempelajari sedikit kebenaran yang sudah aku sisipi dengan ajaran kekerasan dan kemunafikan itu. Aku senang sekali jika melihat mereka merasa paling benar dan berkelahi bahkan saling bunuh demi sekeping kebenaran itu!"
Dasar setan! dalam hatiku, untung aku masih bisa pulang ..

Akhirnya aku menemui seorang ZEN yang menceritakan kisah ini:
Bhiksuni Wu Jincang bertanya kepada sesepuh Zen keenam Hui Neng "Saya telah mempelajari Mahaparinirvana Sutra selama banyak tahun, tetapi banyak hal yang tidak saya mengerti. Mohon dijelaskan".
Hui Neng menjawab " Saya buta huruf, tolong bacakan untuk saya. Barangkali saya dapat menjelaskannya kepada Anda."
Bhiksuni Wu Jincang heran "Anda tidak dapat membaca bagaimana Anda kemudian bisa mengerti maksudnya?"
Hui Neng menjelaskan " Kebenaran tidak ada hubungannya dengan kata-kata. Kebenaran diumpamakan seperti bulan di langit. Kata-kata adalah telunjuk. Telunjuk bisa menunjuk ke bulan, tetapi telunjuk bukanlah bulan. Untuk melihat bulan kita mesti melihat ke atas telunjuk, bukan? Bahasa dan kata-kata hanyalah simbol untuk menyatakan kebenaran. Tetapi salah menempatkan kata-kata sebagai sebagai kebenaran adalah sama menggelikannya dengan menganggap jari sebagai bulan!"


Ya, itulah yang aku cari:  KEBENARAN BUKANLAH KATA-KATA.
Menurutku jika menempatkan kata-kata sebagai kebenaran absolut maka akibatnya bukan hanya menggelikan, tapi musibah besar bagi umat manusia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar